Pemanfaatan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia seringkali hanya digunakan untuk membantu kegiatan administrasi di sekolah saja, tak ubahnya menggantikan mesin ketik konvensional. Bahkan banyak pula sekolah-sekolah maju, yang memiliki laboratorium komputer dengan jumlah komputer yang memadai, hanya memanfaatkan perangkat TIK yang ada untuk mengajarkan keterampilan teknologi informasi saja seperti pelatihan Internet, perangkat perkantoran kepada para siswanya, tak ubahnya seperti kelas kursus komputer pada umumnya.
Seharusnya perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di ruang kelas dengan cara mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang ada. Penggunaan teknologi berbeda dengan maksud dari Integrasi Teknologi. Kegiatan mengajarkan penggunaan teknologi seperti kegiatan diatas, sangat berbeda dengan kegiatan Integrasi Teknologi dalam kegiatan pembelajaran. Integrasi teknologi adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam wilayah konten secara umum dalam pendidikan untuk memungkinkan mereka belajar keterampilan komputer dan teknologi. Secara umum, kurikulumlah yang mengendalikan penggunaan teknologi bukan sebaliknya (Edutopia, 2008).
The International Society for Technology in Education (ISTE) telah membuat standar teknologi untuk siswa, guru dan pengelola kelas dasar (K-12) di Amerika. ISTE, merupakan pemimpin dalam membantu guru-guru disana menjadi pengguna teknologi yang efektif, mereka berpendapat bahwa “Integrasi kurikulum dengan pemanfaatan teknologi melibatkan infusi dari teknologi sebagai perangkat untuk meningkatkan pembelajaran dalam sebuah wilayah konten atau dalam setting multi-disiplin… Integrasi teknologi yang efektif akan tercapai ketika siswa mampu untuk memilih perangkat teknologi untuk membantu mereka memperoleh informasi dengan cara yang tepat, melakukan analisa dan sintesa informasi, serta menyajikannya secara profesional“. Teknologi harus menjadi sebuah bagian integral dari fungsi kelas seperti perangkat pengajaran lain yang mudah untuk diakses. Fokusnya adalah pada setiap pelajaran, bukan teknologinya (NETS, 2008).
Konstruktivisme merupakan komponen terpenting dari integrasi teknologi. Konstruktivisme merupakan suatu pandangan mengenai bagaimana seorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya yang direfleksikan melalui pengalamannya (Piaget, 1967). Untuk mengimplementasikan konstruktifisme di dalam kelas, guru harus berkeyakinan bahwa peserta didik ketika datang ke kelas otaknya tidak kosong dengan pengetahuan. Mereka datang kedalam situasi belajar dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah ada dalam pikiran mereka. Jika sesuai, pengetahuan awal inilah yang merupakan materi dasar untuk pengetahuan baru yang akan mereka kembangkan.
Prinsip-prinsip dari konstruktivisme adalah :
- Siswa membawa pengetahuan awal yang khas dan keyakinan-keyakinan pada situasi pembelajaran.
- Pengetahuan dibangun secara unik dan individu/personal, dalam berbagai cara, lewat berbagai perangkat, sumber-sumber, dan konteks.
- Belajar merupakan proses yang aktif dan reflektif.
- Belajar adalah proses membangun. Kita dapat mempertimbangkan keyakinan dengan mengasimilasi, mengakomodasi, atau bahkan menolak informasi baru.
- Interaksi sosial mengenalkan perspektif ganda pada pembelajaran.
- Belajar dikendalikan secara internal dan dimediasi oleh siswa.
Dalam kelas konstuktivisme para siswa adalah bintang dalam kelas-kelas mereka yang berpusat pada siswa (learner/student centered). Mereka mengungkap pengetahuan dan informasi pengalaman masa lalu, dari apa yang mereka dengar dan diskusikan. Pemahaman yang mereka peroleh sebelumnya adalah fondasi dari pembelajaran dalam kelas. Seperti detektif yang memecahkan misteri kriminalitas, para siswa bertanggung jawab atas pemecahan masalah-masalah dalam pelajaran. Para detektif memulai dari apa yang mereka ketahui dari berbagai sumber — sidik jari, bukti-bukti DNA, dan saksi-saksi mata. Seperti itu pulalah siswa ternyata dalam kehidupan mereka sehari-hari telah melakukan riset (informal maupun formal) dari berbagai sumber — artikel koran, wawancara dengan para ahli, buku, dan video — untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti seorang detektif yang memerlukan lebih dari satu barang bukti untuk memecahkan kejahatan, para siswa dapat menggunakan beragam sarana (komputer, teks (buku), informasi dari wawancara, dsb.) sebagai pendekatan terhadap masalah pembelajaran. Seperti seorang detektif (reserse) dari kepolisian yang bekerja dalam tim, siswa membutuhkan kolega dan mentor atau supervisor untuk berdiskusi, melakukan refleksi, dan berkonfrontasi untuk membantu mereka bekerja mencapai solusi.
Kalau siswa berperan sebagai detektif yang serba bisa, maka apa yang dilakukan para guru? Pendeknya, guru berperan sebagai pemimpin dalam pembelajaran kelas. Guru tidaklah memberikan seluruh jawaban atau mengendalikan materi, tetapi guru menetapkan struktur yang mendorong eksplorasi siswa. Struktur ini meliputi pengaturan kelas (setting), pencapaian tujuan kurikulum, mengases apakah proses belajar telah terjadi di antara siswa, mengelola aktivitas kelas yang seimbang untuk mengakomodasi ketrampilan-ketrampilan siswa, dan menciptakan nuansa eksploratif di awal kegiatan sehingga siswa termotivasi untuk memenuhi tugasnya. Guru-guru dalam kelas seperti ini bergantung pada ketrampilan bertanya yang baik, memonitor diskusi siswa, dan menetapkan peraturan yang memberi peluang bagi siswa untuk terlibat dalam percakapan dan kolaborasi. Mereka memberi contoh/model dalam berlogika dan melakukan proses berpikir, mengidentifikasi dan mengungkapkan kembali pemahaman dan keyakinan siswa, mendukung dialog antara guru dengan siswa dan antar-siswa, serta memberi umpan balik.
Komputer merupakan perangkat yang baik bagi siswa untuk dapat berekspresi secara individual, dapat digunakan untuk bereksplorasi serta meningkatkan. Jika teknologi digunakan secara efektif sebagai perangkat untuk berkreasi, maka siswa akan menjadi memiliki keleluasaan lebih, menjadi kolaboratif, dan reflektif dibanding dengan di dalam kelas tanpa teknologi (SEDL, 1998). Penggunaan dan integrasi secara efektif di dalam kelas akan mampu menghadirkan lingkungan belajar yang konstruktif (sesuai dengan teori konstruktivisme).
Selain akan menarik siswa untuk belajar, pemanfaatan dan integrasi teknologi di dalam kelas, akan membuat siswa lebih aktif dan terlibat dalam proses pembelajaran. Selain itu, integrasi teknologi informasi dalam ruang kelas, mampu juga memberikan siswa pengalaman baru kepada para siswa untuk dapat mengenalkan penggunaan teknologi untuk membantu mereka dalam menyelesaikan permasalahan atau problem solving (Wallace, 1993) yang mereka hadapi di kehidupan sebenarnya. Manfaat lainnya, penggunaan teknologi informasi dalam pembelajaran akan membuat siswa senang dan lebih rileks dalam belajar, hal ini tentu saja akan membuat siswa mudah dalam menyerap pembelajaran yang disampaikan.
Sekaranglah saatnya para guru berfikir bagaimana teknologi dapat membantu mereka, khususnya dalam pemanfaatannya untuk mendukung pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) di dalam kelas. Dalam integrasi teknologi informasi dalam ruang kelas, teknologi informasi harus diposisikan sebagai “alat” yang mampu membantu/menolong guru secara efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Teknologi bukan memegang peranan yang paling penting dalam proses pembelajaran. Dalam ruang kelas yang mengintegrasikan teknologi, para siswa dapat menggunakan Internet untuk mencari informasi, menganalisa tentang suatu hal, mempresentasikan hasil analisanya dalam bentuk tabel dan grafik serta merekam apa yang telah mereka pelajari dalam komputer. Penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran seperti diatas akan membuat siswa lebih aktif, lebih baik dibandingkan mereka hanya pasif, hanya menerima informasi dari guru saja. Mereka juga mampu menghasilkan pengetahuan dan mempresentasikan pengetahuan yang telah didapatkan dalam berbagai format. Sudah barang tentu, bahwa pembelajaran yang aktif (active learning) bukanlah sesuatu yang rapi dalam prosesnya. Para siswa sangat sibuk mengerjakan sesuatu, menghasilkan keberisikan suara dalam kelas dan menghasilkan ruang kelas yang kotor. Aktifitas dan lingkungan belajar haruslah secara seksama mendapatkan panduan dan terstruktur, sehingga siswa benar-benar terlibat dalam aktifitas pembelajarannya.
Para siswa harus belajar bahwa eksplorasi tidak berarti hanya berkeliling mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang mereka inginkan dan berakhir tanpa tahu maksud kegiatannya. Guru harus memastikan bahwa para siswa melakukan investivigasi dan mengajukan pertanyaan, menuliskan tentang apa yang mereka pelajari, dan mengerjakan sesuatu dalam konteks yang sebenarnya, kemudian mereka belajar untuk membaca, menulis dan berfikir.
Dalam ruang kelas yang kaya akan teknologi, para siswa tidak belajar tentang teknologi, meskipun secara tidak langsung kegiatan ini akan memberikan pengalaman menggunakan teknologi informasi dalam menyelesaikan permasalahan sehar-hari. Jadi, teknologi hanyalah sebuah tujuan, namun bukan segalanya.
Menyiapkan Siswa untuk Menghadapi Abad Ke-21
Tugas seorang guru adalah mempersiapkan siswa siswi kita agar mampu menghadapi tantangan yang ada di masa yang akan datang, yaitu di Abad Ke-21 ini. Dalam abad ini telah terjadi perubahan yang begitu besar yang sangat berbeda dengan masa-masa ketika para guru belajar dahulu. Saat ini merupakan era digital, dalam era ini para siswa lah yang menjadi penduduk aslinya. Teknologi digital telah ada ketika mereka lahir. Merekalah warga asli dalam era digital ini (digital natives). Sedangkan para guru yang baru saja menikmati era digital disebut sebagai warga pendatang (digital immigrant). Sebagai warga asli di era digital ini, tentu saja mereka telah sangat terbiasa dengan penggunaan teknologi digital seperti komputer, handphone, Internet, multimedia player, game equipment seperti x-box, nintendo wii, dan teknologi digital lainnya. Mereka akan beradaptasi dengan sangat cepat terhadap hadirnya teknologi baru. Lihat saja, para siswa pasti akan dengan cepat mampu mengoperasikan handphone yang baru saja ditemuinya dibandingkan dengan kita. Ya, hal itu sangat wajar terjadi, karena ini dunia mereka, dunia digital!. Sebagai seorang guru dan pendatang di era digital tentu saja kita harus menyesuaikan diri, menyesuaikan cara mendidik mereka sesuai dengan cara mereka hidup di era digital, serta mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Untuk membangun kecakapan/keterampilan siswa di abad 21 (21st century skills), para siswa perlu menguasai beberapa keterampilan berupa kreatifitas dan inovasi, komunikasi dan kolaborasi, kemampuan meneliti dan melek informasi, berfikir kritis, pemecahan masalah (problem solving) dan membuat keputusan, kewarganegaraan digital (digital citizenship) serta konsep dan pengoperasian teknologi (NETS, 2007).
Sudah saatnya para guru menyesuaikan cara dan materi pembelajaran yang mereka berikan dengan cara hidup para siswa di era digital serta kebutuhan keterampilan di masa yang akan datang untuk menghadapi dunia kerja. Di tempat kerja saat ini dan yang akan datang, para pekerja melakukan analisa, merubah dan membuat informasi. Mereka juga berkolaborasi dengan rekan kerjanya untuk menyelesaikan permasalahan dan membuat keputusan. Mereka juga mencoba menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan berbagai teknologi yang dikuasainya. Di rumah dan keluarga saat ini mereka menghibur diri dengan melihat, membuat dan berperan dalam berbagai media, membuat keputusan dengan melihat informasi di Internet, tetap terhubung dengan teman dan anggota keluarga lewat berbagai teknologi.
Keterbiasaan para siswa dalam memanfaatkan perangkat teknologi informasi dan komunikasi merupakan potensi yang luar biasa yang ada dalam diri mereka, yang harus dikelola oleh para guru agar dapat diarahkan untuk hal-hal yang berguna dalam kehidupan mereka nantinya bukan malah digunakan untuk sesuatu yang membuat diri mereka menjadi tidak produktif dan cenderung melakukan hal-hal yang dilarang seperti mengakses situs web pornografi, kekerasan, kejahatan digital, dll. Selain konten ilmu pengetahuan, mereka para siswa harus dibekali pengetahuan teknologi dan keterampilan-keterampilan sosial untuk dapat menyelesaikan setiap permasalahan (problem solving) yang mereka hadapi nantinya di dunia nyata.
Integrasi dan pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya membekali para siswa dengan keterampilan teknologi canggih saja, namun lebih dari itu pemanfaatan teknologi harus pula mempromosikan berbagai hal seperti mendorong para siswa untuk berfikir kritis (tingkat tinggi), mendorong kerjasama dan kolaborasi, menggali kreatifitas dan inovasi, memaksimalkan kemampuan komunikasi, dan yang tak kalah penting adalah pemanfaatan teknologi dapat membawa suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar. Dalam lingkungan belajar yang menyenangkan, siswa dapat dengan mudah mengingat apa yang telah dipelajarinya karena proses pembelajaran tersebut memberikan kesan tersendiri terhadap peserta didik.
Hadirnya tulisan ini semoga dapat memberikan secercah ide bagi para staf pengajar untuk dapat membawa anak didiknya kearah yang lebih baik, “sadar akan kebutuhan membekali anak didik sesuai dengan tuntutan jaman”, yaitu abad ke-21. Agar mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan di masa depan.