Pendidikan karir (career education) di jenjang dasar dan menengah di Indonesia idealnya menjadi fondasi agar peserta didik bisa mengenali diri (minat, bakat), memahami dunia kerja, dan menyiapkan keterampilan yang relevan. Namun kenyataannya di Indonesia, implementasi pendidikan karir di sekolah dasar dan menengah masih bersifat setengah hati.
Banyak sekolah hingga saat ini belum memiliki program konseling karir yang sistematis, guru pembimbing karir yang kompeten, ataupun kerja sama yang kuat dengan dunia industri. Akibatnya, ketika lulus, banyak siswa bingung memilih jalur pendidikan atau pekerjaan, dan sudah sering terjadi kecocokan pendidikan-kerja (education-to-work mismatch) yang tinggi.
Tulisan ini akan menelaah “mengapa” situasi setengah hati tersebut bisa muncul — dengan merujuk fakta dan gap antara dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja — dan kemudian mengusulkan langkah korektif bagi pemerintah serta aktor nonpemerintah agar pendidikan karir dapat dihidupkan secara komprehensif dan efektif.
Mengapa Pendidikan Karir Sering Diabaikan? (Analisis Akar Permasalahan)
Fokus Pendidikan Terlalu Banyak pada Input dan Akses, Bukan Outcome
Sejak era wajib belajar 12 tahun dan berbagai kebijakan untuk memperluas akses pendidikan, Indonesia banyak berhasil meningkatkan angka partisipasi di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun pencapaian akses ini tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun hampir seluruh anak bersekolah, hasil belajar dasar seperti literasi dan numerasi masih lemah, terutama di daerah terpencil.
Krisis pembelajaran (learning crisis) adalah istilah global yang menggambarkan situasi di mana meskipun banyak anak mengenyam sekolah, mereka tidak menguasai keterampilan dasar yang memadai. Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti bahwa bahkan siswa yang berhasil menuntaskan pendidikan dasar dan menengah belum tentu memiliki bekal kognitif dan keterampilan yang memadai untuk memasuki dunia kerja atau pendidikan lanjutan. Di tengah kondisi itu, menambahkan “pendidikan karir” bisa dipandang sebagai beban tambahan, dan oleh karena itu sering kurang mendapat prioritas.
Ketidaktahuan & Ketidakmampuan Guru dan Sekolah sebagai Pelaksana
Banyak guru di sekolah dasar dan menengah belum dilatih secara memadai untuk mendampingi siswa mengenai isu-isu karir: bagaimana membantu siswa menggali minat, memperkenalkan berbagai jalur pekerjaan masa depan, maupun membimbing mereka membuat keputusan pendidikan lanjutan yang realistis. Hal ini diperparah oleh beban kurikulum formal yang sudah padat, di mana guru lebih difokuskan pada pencapaian kompetensi mata pelajaran dan standar ujian nasional, bukan aktivitas konseling karir.
Selain itu, sekolah sering kekurangan sarana (misalnya ruang karir, perpustakaan karir, media informasi industri) dan anggaran untuk mengimplementasikan program karir aktif. Infrastuktur pendidikan (fasilitas, teknologi) di banyak sekolah terutama di wilayah tertinggal pun masih terbatas.
Kesenjangan Antara Kebutuhan Dunia Kerja dan Kurikulum Sekolah
Salah satu gap terbesar adalah bahwa apa yang diajarkan di sekolah (baik dari sudut kompetensi kognitif maupun soft skills) sering kali berbeda jauh dari apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Ada kecenderungan kurikulum sekolah bersifat umum dan “satu formula cocok untuk semua”, sementara dunia kerja menuntut keterampilan spesifik (teknis, digital, kolaboratif) dan adaptabilitas terhadap perubahan.
Studi mengenai mismatch pekerjaan menunjukkan bahwa banyak lulusan sekolah menengah (baik SMA umum maupun kejuruan) mengalami kesenjangan antara kualifikasi mereka dengan pekerjaan yang tersedia. Dalam penelitian yang membandingkan pendidikan vokasional dan umum, ditemukan bahwa mismatch pekerjaan di Indonesia banyak dipicu oleh kualitas pendidikan yang kurang relevan dengan kebutuhan industri.
Menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka tertinggi berada pada lulusan tingkat menengah (SMA/Vokasi) dibandingkan dengan kelompok pendidikan tinggi atau yang lebih rendah. Ini menjadi bukti nyata bahwa sekolah menengah kadang gagal mempersiapkan siswa agar bisa terserap secara produktif ke dalam dunia kerja.
Lemahnya Sinergi antara Sekolah dan Dunia Usaha / Industri
Agar pendidikan karir menjadi hidup, sekolah idealnya menjalin kemitraan dengan dunia usaha, industri, lembaga kejuruan, dan asosiasi profesi agar siswa mendapatkan pengalaman langsung — seperti kunjungan industri, magang level ringan, atau kolaborasi proyek. Namun kenyataannya, banyak sekolah yang tidak memiliki akses atau jaringan yang memadai untuk menjalin kemitraan ini. Di daerah terpencil, bahkan belum jelas siapa yang harus diajak dan bagaimana mekanisme kerjasamanya.
Selain itu, sistem insentif atau regulasi pemerintah belum kuat memaksa atau mendorong sekolah menjalin kemitraan yang bermakna. Banyak kerjasama yang bersifat formalitas (sekadar penandatanganan MoU tanpa realisasi), bukan kolaborasi aktif dalam perancangan kurikulum atau peluang praktik kerja siswa.
Prioritas Anggaran yang Terbatas dan Orientasi Kebijakan Jangka Pendek
Pemerintah, di tingkat pusat maupun daerah, seringkali menyusun kebijakan dan alokasi anggaran berdasarkan prioritas yang sifatnya politis atau terlihat langsung (misalnya pembangunan gedung, proyek fisik, tunjangan guru) ketimbang investasi jangka panjang yang abstrak seperti pengembangan sistem karir di sekolah. Akibatnya, alokasi untuk pengembangan konseling karir, pelatihan guru karir, dan kemitraan industri sering jadi korban pemangkasan.
Fokus pemerintah dalam reformasi pendidikan lebih sering pada aspek input (tenaga pengajar, fasilitas, kurikulum) daripada aspek jembatan antara sekolah dan pekerjaan. Padahal tanpa jembatan itu, banyak lulusan tetap terseret ke dalam pengangguran atau pekerjaan informal yang tidak sesuai kompetensi.
Apa yang Terjadi Bila Pendidikan Karir Dibiarkan Lemah
Tingginya Mismatch Dunia Pendidikan dengan Dunia Kerja Serta Tingginya Pengangguran Usia Produktif
Ketika lulusan sekolah tidak siap memasuki dunia kerja yang relevan, mereka cenderung terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai bidang atau bahkan menganggur. Mismatch pendidikan-kerja ini merugikan baik pihak individu (potensi tertahan, pendapatan rendah, ketidakpuasan kerja) maupun negara (inefisiensi, pemborosan sumber daya manusia). Data menunjukkan bahwa lulusan jenjang menengah sering memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi.
Lebih dari itu, banyak penduduk usia produktif yang tetap menganggur atau bekerja di sektor informal meskipun mereka memiliki ijazah menengah atau perguruan tinggi. Sebuah catatan menyebut bahwa lebih dari 7,8 juta penduduk usia produktif di Indonesia masih menganggur, dan mayoritasnya adalah lulusan baru.
Ketidakpastian Karir dan Kurangnya Mobilitas Sosial
Tanpa bekal pendidikan karir yang baik, banyak siswa bahkan tidak tahu jalur lanjutan yang sesuai — misalnya antara melanjutkan ke sekolah vokasi, kuliah, wirausaha, atau jalur kerja langsung. Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam membuat keputusan karir. Mereka yang asal memilih sering kali berhenti di tengah jalan, pindah jurusan, atau gagal menyelesaikan pendidikan lanjutan.
Kondisi ini pada akhirnya memperlemah mobilitas sosial. Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah yang memiliki potensi tidak optimal dieksploitasi karena pusaran ketidakpastian dan risiko kegagalan.
Brain Drain dan Pesimisme Generasi Muda
Ketidakpastian kesempatan kerja dan kualitas karir yang terbatas mendorong sebagian generasi muda mencari peluang di luar negeri. Tren seperti tagar “#KaburAjaDulu” mencerminkan ketidakpuasan generasi muda terhadap kondisi domestik dan dorongan untuk mencoba peruntungan di luar negeri. Fenomena migrasi otak ini melemahkan daya saing bangsa karena talenta terbaik bisa hilang ke negara lain.
Kerugian Ekonomi dan Inovasi yang Tertahan
Ketika investasi pendidikan tidak menghasilkan lulusan yang produktif dan inovatif, maka potensi pertumbuhan ekonomi terhambat. Negara kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan bonus demografi bila manusia muda belum siap bekerja dalam industri berteknologi tinggi, adaptif terhadap perubahan global, dan kreatif. Juga, inovasi skala lokal dan pengembangan usaha berbasis komunitas sulit tumbuh bila generasi muda tidak diarahkan ke jalur karir yang bermakna.
Rekomendasi: Jalan Menuju Pendidikan Karir yang Nyata dan Efektif
Agar tidak terus “setengah hati”, berikut beberapa rekomendasi strategis baik untuk pemerintah maupun aktor non-pemerintah yang bisa diambil untuk memperbaiki dan memperkuat pendidikan karir di jenjang dasar dan menengah.
Untuk Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah harus menjadikan pendidikan karir sebagai komponen wajib dan terintegrasi dalam kebijakan pendidikan nasional. Artinya, bukan sekadar tambahan pilihan di sekolah, tetapi bagian dari kurikulum minimal yang diatur secara nasional dan memiliki standardisasi mutu.
Selanjutnya pemerintah perlu menyediakan dana khusus (subsidi atau insentif) untuk pengembangan program pendidikan karir di sekolah: misalnya pelatihan guru pembimbing karir, pembangunan ruang karir di sekolah, modul dan bahan ajar karir, serta teknologi informasi karir. Anggaran ini sebaiknya bersifat ringkas dan akuntabel agar tidak tersedot ke pos-pos lain.
Pemerintah juga harus memperkuat regulasi atau insentif untuk memfasilitasi kemitraan antara sekolah dan dunia usaha. Misalnya memberikan penghargaan kepada sekolah yang berhasil menjalin kolaborasi bermakna (magang siswa, proyek bersama, kunjungan industri) atau memfasilitasi keberadaan hub karir regional sebagai penghubung antara sekolah dan industri di daerah.
Lebih jauh, pemerintah perlu mendorong reformasi kurikulum agar lebih adaptif terhadap tren global (digitalisasi, ekonomi hijau, teknologi, soft skills, literasi baru) serta memfasilitasi modul karir sebagai bagian dari pembelajaran lintas mata pelajaran. Kurikulum harus memberi ruang waktu untuk aktivitas karir (misalnya jam konseling, workshop karir, proyek eksplorasi karir).
Pemerintah juga harus memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi (monitoring) terhadap pendidikan karir di sekolah. Data tentang partisipasi siswa dalam kegiatan karir, hasil keputusan karir siswa, tingkat syarat kesesuaian lulusan terhadap dunia kerja, dan feedback industri perlu dikumpulkan secara rutin untuk evaluasi dan perbaikan kebijakan.
Untuk Sekolah, Guru, dan Komunitas Lokal
Sekolah hendaknya secara aktif menginisiasi kegiatan-kegiatan karir: workshop pengenalan profesi, kunjungan ke tempat kerja, pameran karir lokal, kolaborasi proyek mini dengan dunia usaha, serta platform konsultasi karir. Guru Bimbingan dan Konseling (BK) atau pembimbing karir harus mendapatkan pelatihan intensif agar mampu memfasilitasi siswa membuat perencanaan karir pribadi yang sesuai minat dan kondisi lokal.
Sekolah juga bisa memanfaatkan teknologi (platform digital karir, aplikasi penelusuran profesi, simulasi karir berbasis daring) untuk memperluas akses informasi ke siswa, terutama di sekolah yang sulit dijangkau.
Komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, dan dunia usaha setempat bisa menjalin kolaborasi dengan sekolah: misalnya membuka peluang magang ringan, mentoring, kunjungan industri, program berbagi pengalaman profesi dari alumni, dan pelatihan soft skills lokal. Organisasi nirlaba di bidang pendidikan karir bisa membuat modul, pelatihan, atau jejaring untuk mendukung sekolah yang belum memiliki kapasitas.
Pihak swasta (industri, perusahaan) perlu lebih terlibat dalam merancang program pelatihan atau proyek sekolah berbasis kebutuhan nyata mereka, serta menerima siswa magang meskipun dalam skala kecil, agar ekosistem karir di sekolah lebih hidup dan relevan.
Kolaborasi Multi-Pihak dan Pemanfaatan Teknologi
Pemerintah, sekolah, industri, lembaga profesi, serta LSM pendidikan karir harus duduk bersama dalam forum reguler (misalnya forum karir nasional/daerah) untuk menyelaraskan kebutuhan tenaga kerja, tren global, dan desain program karir sekolah.
Pemanfaatan teknologi sangat penting. Pemerintah dan mitra dapat mengembangkan platform karir nasional yang memuat database profesi, kebutuhan industri per wilayah, portal magang, asesmen minat/kemampuan siswa, dan rekomendasi jalur pendidikan-karir. Sekolah bisa mengintegrasikan platform tersebut dalam kegiatan konseling karir.
Teknologi juga bisa digunakan untuk pembelajaran karir jarak jauh di daerah terpencil, melalui webinar, modul daring, dan diskusi dengan praktisi dari kota/industri.
Mentransformasi Kesadaran Menjadi Aksi Nyata
Pendidikan karir di tingkat dasar dan menengah tidak boleh sekadar menjadi slogan atau pelengkap tambahan. Jika diabaikan atau diterapkan secara setengah hati, maka banyak generasi muda kita akan tertinggal dalam menghadapi persaingan global, kecocokan kerja yang buruk, dan kehilangan potensi produktifnya.
Dengan intervensi sistemik—yakni integrasi ke dalam kebijakan nasional, pendanaan khusus, pelatihan guru, kemitraan aktif dengan industri, dan kolaborasi multi-pihak—pendidikan karir dapat menjadi kekuatan strategis untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang adaptif, kreatif, dan siap bersaing dalam ekonomi global. Upaya ini bukan pekerjaan semalam, tetapi jika dimulai sekarang, hasilnya akan terasa dalam satu atau dua generasi ke depan.